Friday, March 20, 2009

EKOSISTEM TEMPAT PEMUSNAHAN AKHIR ( TPA ) BANTAR GEBANG, BEKASI

Pengertian Ekosistem
Ekosfer atau biosfer merupakan bulatan planet bumi di mana terdapat kehidupan. Makna yang sebenarnya dari ekosfer adalah bulatan bumi dimana kehidupan dapat berlangsung.
Tingkatan organisme kehidupan dalam ekologi yang terkecil adalah individu dari makhluk hidup. Kumpulan individu yang terdiri atas jenis atau spesies yang sama disebut populasi. Guid adalah kelompok populasi yang mengeksploitasi sumber daya sejenis dengan cara yang sama. Misalnya sekelompok prosator yang sama-sama memangsa kijang di hutan. Tetapi predator dan parasit yang mempunyai tuan rumah yang sama bukan guild karena cara konsumsinya berbeda. Sekelompok individu tumbuhan dan hewan yang berinteraksi dengan menghuni suatu habitat disebut komunitas yang dalam literatur Rusia serta Eropa Timur disebut biocoenisis.
Suatu komunitas dalam interaksinya dengan sesama maupun dengan lingkungan fisik di sekitarnya membentuk sistem ekologi atau ekosistem. Ekosistem dianggap sabagai satuan pokok dalam ekologi. Pada dasarnya, ekosistem dapat meliputi seluruh ekosfer atau hanya bagian-bagiannya, bahkan dapat juga sebagian kecil saja, seperti sebuah danau atau sebuah kolam. Ini tergantung kepada permasalahan yang dihadapi atau pendekatan yang diperlukan.

Latar Belakang, Dampak Yang Ditimbulkan, serta Solusi Terhadap Ekosistem Sekitar TPA Bantar Gebang
Peningkatan jumlah penduduk di DKI Jakarta memberikan dampak terhadap peningkatan volume sampah. Upaya mengurangi volume sampah yang pernah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan cara membakar di lahan terbuka seperti di Cilincing dan Kapuk telah menimbulkan polusi asap dan debu. Karena itu Pemerintah DKI Jakarta menganggap perlu memiliki lokasi tempat pembuangan yang memadai dan memenuhi persyaratan ambang batas lingkungan hidup. Dalam pembahasan dengan Bappeda dan Dinas Kebersihan DKI Jakarta dimunculkan tiga gagasan yaitu dikubur, dibakar, dan Sanitary Landfill. Sistem dikubur diawali dengan membuat galian dengan kedalaman tertentu lalu diberi penadah plastik kemudian diisi tanah setinggi 5 meter . Resiko dari perlakuan ini adalah hancurnya plastik oleh pelarut kimia. Sistem pembakaran dengan incenerator pada suhu 1100 0C. Lama pembakaran, suhu, dan pencampuran oksigen yang tepat dapat menghancurkan 99% sampah. Asap yang terbentuk diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke udara. Resiko dari sistem pembakaran yang tidak mencapai tingkat suhu tersebut adalah dioksin yang sangat beracun dan menimbulkan berbagai jenis kanker (Sirait, 2003). Sistem Sanitary Landfill adalah metode pembuangan akhir limbah dengan teknik tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayakan kesehatan. Berdasarkan tiga pilihan tersebut, pengolahan sampah dengan metode Sanitary Landfill dianggap paling efektif.
Pemerintah DKI Jakarta akhirnya menetapkan salah satu daerah di wilayah kecamatan Bantar Gebang sebagai Tempat Pemusnahan Akhir sampah. Areal ini semula merupakan bekas lahan galian tanah untuk kepentingan pembangunan beberapa perumahan di Jakarta, seperti Sunter, Podomoro, dan Kelapa Gading serta perbaikan jalan di Narogong pada tahun 1986.
Mencuatnya masalah dampak TPA Bantar Gebang diawali dengan adanya perubahan status Kota Administratif menjadi Kota Bekasi pada tahun 1996. Akar permasalahannya kemungkinan disebabkan tidak jelasnya kewenangan instansi pengelola sampah Selama kurun waktu tersebut pemerintah DKI Jakarta kurang memperhatikan pengelolaan TPA Bantar Gebang. Keadaan ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997. Krisis ekonomi tersebut juga menyebabkan banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja, pengangguran, dan tingginya harga kebutuhan bahan pokok. Sampah dijadikan tumpuan sumber penghasilan bagi para pemulung yang memiliki rumah liar di sekitar penampungan. Dampak sosial yang timbul diantaranya adalah terjadinya pencurian ratusan pipa paralon pada Sanitary Landfill yang berfungsi untuk membuang gas metan sehingga menyebabkan saluran mengalami kebuntuan. Akibatnya timbul kebakaran di beberapa zona TPA sehingga menimbulkan asap. Di samping itu timbul pula bau yang menebar hingga mencapai kawasan Kemang Pratama, Kranji, Pekayon, dan wilayah-wilayah lain di Kota Bekasi yang jaraknya mencapai lebih dari 10 km dari Bantar Gebang.
Bantar Gebang merupakan salah satu dari sekian banyak tempat pembuangan akhir (TPA) di Jawa Barat. Daerah tersebut banyak dihuni oleh masyarakat dari kalangan bawah yang menjadikan tempat pembuangan tersebut sebagai sumber mata pencaharian utama. Mereka mengumpulkan sampah-sampah yang masih bisa dijual ataupun di daur ulang.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa TPA Bantar Gebang memberikan efek negatif terhadap kualitas air, tanah, dan kesehatan masyarakat. Jadi ekosistem yang ada pada daerah tersebut terganggu, contohnya :
1. keadaan tanah yang tercemar akibat sampah-sampah anorganik yang mengandung zat-zat kimia beracun
2. timbul berbagai macam penyakit yang berasal dari udara yang tercemar atau dari kualitas air yang buruk.
3. terhambatnya mobilitas masyarakat setempat akibat terganggu aroma sampah yang menyengat.

Kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang sudah sedemikian parah karena asal mula penanganan sampah sangat gegabah. Selama belasan tahun sampah langsung dibuang bertumpuk tanpa ditimbun tanah sebagai syarat sanitary landfill. Sejak dibukanya 16 tahun lalu, berat tumpukan sampah Bantar Gebang sudah diperkirakan mencapai 36 juta ton. Bau menyengat akibat gunung sampah itu mencapai radius 15 kilometer.
Proses pengurukan sampah dengan tanah yang seharusnya dilakukan secara berkala untuk meredam bau sampah juga tidak dilakukan dengan benar. Warga di tiga desa sekitar TPA berkali-kali mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI agar segera memperbaiki sistem pengolahan sampahnya di Bantar Gebang. Surat protes telah dilayangkan ke meja gubernur. Unjuk rasa besar-besaran yang berpotensi kekerasan juga berulang kali digelar.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi berupaya mengambil alih pengelolaan TPA Bantar Gebang dari tangan Pemprov DKI. Tetapi ujung-ujungnya, setelah dilakukan negosiasi sana-sini, dengan berbagai uang kompensasi, TPA Bantar Gebang akhirnya dioperasikan kembali. Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sepakat menggunakan kembali TPA Bantar Gebang untuk menampung sampah warga Jakarta terhitung 1 Januari 2004.
Bekasi juga menuntut Pemprov DKI segera membayar dana kompensasi Rp 8 miliar bagi warga di sekitar TPA Bantar Gebang. Belakangan DKI memberikan kompensasi sebesar Rp 14 miliar untuk TPA Bantar Gebang. Selain dana kompensasi, Pemkot Bekasi masih meminta lagi uang retribusi sampah sebesar Rp 85.000 per ton kepada DKI.

PRINSIP INTERPRETASI LINGKUNGAN PENGENDAPAN DAN KLASIFIKASI

I. Konsep Tentang Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan adalah tempat mengendapnya material sedimen beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi yang mencirikan terjadinya mekanisme pengendapan tertentu (Gould, 1972).
Interpretasi lingkungan pengendapan dapat ditentukan dari struktur sedimen yang terbentuk. Struktur sedimen tersebut digunakan secara meluas dalam memecahkan beberapa macam masalah geologi, karena struktur ini terbentuk pada tempat dan waktu pengendapan, sehingga struktur ini merupakan kriteria yang sangat berguna untuk interpretasi lingkungan pengendapan. Terjadinya struktur-struktur sedimen tersebut disebabkan oleh mekanisme pengendapan dan kondisi serta lingkungan pengendapan tertentu.
Beberapa aspek lingkungan sedimentasi purba yang dapat dievaluasi dari data struktur sedimen di antaranya adalah mekanisme transportasi sedimen, arah aliran arus purba, kedalaman air relatif, dan kecepatan arus relatif. Selain itu beberapa struktur sedimen dapat juga digunakan untuk menentukan atas dan bawah suatu lapisan.
Didalam sedimen umumnya turut terendapkan sisa-sisa organisme atau tumbuhan, yang karena tertimbun,terawetkan. Dan selama proses Diagenesis tidak rusak dan turut menjadi bagian dari batuan sedimen atau membentuk lapisan batuan sedimen. Sisa-sia organisme atau tumbuhan yang terawetkan ini dinamakan fossil. Jadi fosill adalah bukti atau sisa-sisa kehidupan zaman lampau. Dapat berupa sisa organisme atau tumbuhan, seperti cangkang kerang, tulang atau gigi maupun jejak ataupun cetakan.
Dari studi lingkungan pengendapan dapat digambarkan atau direkontruksi geografi purba dimana pengendapan terjadi.
Lingkungan pengendapan merupakan keseluruhan dari kondisi fisik, kimia dan biologi pada tempat dimana material sedimen terakumulasi. (Krumbein dan Sloss, 1963)
Jadi, lingkungan pengendapan merupakan suatu lingkungan tempat terkumpulnya material sedimen yang dipengaruhi oleh aspek fisik, kimia dan biologi yang dapat mempengaruhi karakteristik sedimen yang dihasilkannya.
Secara umum dikenal 3 lingkungan pengendapan, lingkungan darat transisi, dan laut. Beberapa contoh lingkungan darat misalnya endapan sungai dan endapan danau, ditransport oleh air, juga dikenal dengan endapan gurun dan glestsyer yang diendapkan oleh angin yang dinamakan eolian. Endapan transisi merupakan endapan yang terdapat di daerah antara darat dan laut seperti delta,lagoon, dan litorial. Sedangkan yang termasuk endapan laut adalah endapan-endapan neritik, batial, dan abisal.
Contoh
Lingkungan Pengendapan Pantai
Proses Fisik : ombak dan akifitas gelombang laut
Proses Kimia : pelarutan dan pengendapan
Proses Biologi : Burrowing
Ketiga proses tersebut berasosiasi dan membentuk karakteristik pasir pantai, sebagai material sedimen yang meliputi geometri, tekstur sedimen, struktur dan mineralogy.

II. Parameter Lingkungan Pengendapan
Parameter fisik meliputi elemen static dan dinamik dari lingkungan pengendapan.
1. Elemen fisik
1.1 Elemen fisik statis meliputi geometri cekungan(Basin); material yang diendapkan seperti kerakal silisiklastik, pasir, dan lumpur; kedalaman air; suhu; dan kelembapan.
1.2 Elemen fisik dinamik adalah faktor seperti energy dan arah aliran dari angin, air dan es; air hujan; dan hujan salju.
2. Parameter kimia termasuk salinitas, pH, Eh, dan karbondioksida dan oksigen yang merupakan bagian dari air yang terdapat pada lingkungan pengendapan.
3. Parameter biologi dari lingkungan pengendapan dapat dipertimbangkan untuk meliputi kedua-duanya dari aktifitas organism, seperti pertumbuhan tanaman, penggalian, pengeboran, sedimen hasil pencernaan, dan pengambilan dari silica dan kalsium karbonat yang berbentuk material rangka. Dan kehadiran dari sisa organism disebut sebagai material pengendapan.

III. Proses Sedimentasi dan Produknya
Tiap lingkungan sedimen memiliki karakteristik akibat parameter fisika, kimia, dan biologi dalam fungsinya untuk menghasilkan suatu badan karakteristik sedimen oleh tekstur khusus, struktur, dan sifat komposisi. Hal tersebut biasa disebut sebagai fasies. Istilah fasies sendiri akan mengarah kepada perbedaan unit stratigrafi akibat pengaruh litologi, struktur, dan karakteristik organik yang terdeteksi di lapangan. Fasies sedimen merupakan suatu unit batuan yang memperlihatkan suatu pengendapan pada lingkungan.
Proses Pengendapan Di Air Dan Darat
Proses pengendapan di air, terbentuknya berupa timbunan di laut dan akan berakhir di air hangat. Namun pada kenyataan yang sering dijumpai, beberapa dikarenakan oleh aliran sungai. Ini juga termasuk timbunan di danau dan delta. Keseluruhan proses pengendapan hingga saat ini dapat diamati dalam berbagai bentuk walaupun ada beberapa aspek pengendapan yang tidak sempurna. Kemungkinan ini digunakan untuk mengklasifikasikan cara utama dimana material mengendap karena perpindahan air.
Proses pengendapan di daratan, sebagai tempat awal, tertransportasikan oleh arus sungai yang deras. Batuan yang terpisah / tanah yang tererosi akan dibawa oleh aliran sungai, mulai dari dasar hingga menuju puncaknya. Selama arus bergerak membelok dan memasuki area, kecepatannya akan menurun dan semakin banyaknya muatan yang dibawa akan terendap pada kerucut aluvial atau kipas aluvial. Endapan akan dapat dibedakan disekitar pegunungan dan sering dijumpai pada derah yang luas dan dalam. Banyak material sedimen ditemukan di daratan pesisir di Amerika dan kemungkinan terbentuk di daerah tersebut. Timbunan menunjukkan stratigrafi yang berasal dari formasi alaminya, dan karena perubahan volume aliran sungai yang deras, lapisan yang ada di dekatnya akan menjadi sangat berubah. Timbunan kerucut aluvial selalu menunjukkan perbedaan utama dari endapan kasar [termasuk bongkahan] di puncak dengan lempung di luarnya. Jika proses erosi terus berlanjut tanpa adanya pergerakan bumi, material yang ada di kerucut alivisl akan tererosi sendirinya.
Tingkat akhir dalam proses pertumbuhan sungai juga menjadi faktor proses pengendapan. Setelah sungai mencapai tingkat dewasa, akan bertambah volume pengangkatan material sedimennya. Natural leeves akan terbentuk pada saluran sungai dan pada saat itu juga air meluap, mengisi area lain disetiap sampingnya dimana proses pengendapannya lambat. Area ini lebih dikenal sebagai alluvial / plain. Timbunan material di area tersebut juga akan terstratigrafikan.
Didaerah padang pasir, sungai mengalir menuju ke cekungan dalam yang kering / terisi air yang dangkal. Pengendapannya terjadi di bebrapa daerah dimana ketika air meluap membawa banyak material. Jika pergerakan bumi mendukung proses pengendapan, dalamnya timbunan akan menjadi seimbang dan kejadian ini ternyata sudah berlangsung dari waktu yang cukup lama. Material akan terstratigrafikan, namun banyak juga yang hilang. Material tersebut bervariasi, biasanya mencakup lapisan garam dan gypsum. Sungai mengalir menuju danau dan membawa timbunan kemudian menuju delta dan laut.
Pengendapan di laut biasanya terbentuk dalam 3 daerah, yaitu :
1. Zona pantai
2. Zona dangkalan
3. Zona laut dalam
Material pada zona pantai memiliki keadaan alami secara sementara, sejak timbul di garis pantai dan akan berubah secara tetap. Material ini didominasi oleh materioal kasar [pasir dan kerikil].
Transportasi
Proses transprtasi adalah proses perpindahan / pengangkutan material yang diakibatkan oleh tenaga kinetis yang ada pada sungai sebagai efek dari gaya gravitasi. Sungai mengangkut material hasil erosinya dengan berbagai cara, yaitu
a. Traksi, yaitu material yang diangkut akan terseret pada dasar sungai.
b. Rolling, yaitu material akan terangkut dengan cara menggelinding pada dasar sungai.
c. Saltasi, yaitu material akan terangkut dengan cara meloncat pada dasar sungai.
d. Suspensi, yaitu proses pengangkutan material secara mengambang dan bercampur dengan air sehingga menyebabkan air sungai menjadi keruh.
e. Solution, yaitu pengangkutan material larut dalam air dan membentuk larutan kimia.

Sedimentasi
Proses sedimentasi adalah proses pengendapan material karena aliran sungai tidak mampu lagi mengangkut material yang dibawanya. Apabila tenaga angkut semakin berkurang, maka material yang berukuran besar dan lebih berat akan terendapkan terlebih dahulu, baru kemudian material yang lebih halus dan ringan. Bagian sungai yang paling efektif untuk proses pengendapan ini adalah bagian hilir atau pada bagian slip of slope pada kelokan sungai, karena biasanya pada bagian kelokan ini terjadi pengurangan energi yang cukup besar. Ukuran material yang diendapkan berbanding lurus dengan besarnya energi pengangkut, sehingga semakin ke arah hilir, energi semakin kecil, material yang diendapkanpun semakin halus.
Sedimentasi adalah terbawanya material hasil dari pengikisan dan pelapukan oleh air, angin atau gletser ke suatu wilayah yang kemudian diendapkan. Semua batuan hasil pelapukan dan pengikisan yang diendapkan lama kelamaan akan menjadi batuan sedimen. Hasil proses sedimentasi di suatu tempat dengan tempat lain akan berbeda.

Pengendapan oleh air laut
Batuan hasil pengendapan oleh air laut disebut sedimen marine. Pengendapan oleh air laut dikarenakan adanya gelombang. Bentang alam hasil pengendapan oleh air laut, antara lain pesisir, spit, tombolo, dan penghalang pantai. Pesisir merupakan wilayah pengendapan di sepanjang pantai. Biasanya terdiri dari material pasir. Ukuran dan komposisi material di pantai sangat bervariasi tergantung pada perubahan kondisi cuaca, arah angin, dan arus laut. Arus pantai mengangkut material yang ada di sepanjang pantai. Jika terjadi perubahan arah, maka arus pantai akan tetap mengangkut material material ke laut yang dalam. Ketika material masuk ke laut yang dalam, terjadi pengendapan material. Setelah sekian lama, terdapat akumulasi material yang ada di atas permukaan laut. Akumulasi material itu disebut spit. Jika arus pantai terus berlanjut, spit akan semakin panjang. Kadang kadang spit terbentuk melewati teluk dan membetuk penghalang pantai (barrier beach).

Pengendapan oleh angin
Sedimen hasil pengendapan oleh angin disebut sedimen aeolis. Bentang alam hasil pengendapan oleh angin dapat berupa gumuk pasir (sand dune). Gumuk pantai dapat terjadi di daerah pantai maupun gurun. Gumuk pasir terjadi bila terjadi akumulasi pasir yang cukup banyak dan tiupan angin yang kuat. Angin mengangkut dan mengedapkan pasir di suatu tempat secara bertahap sehingga terbentuk timbunan pasir yang disebut gumuk pasir.
Pengendapan oleh gletser
Sedimen hasil pengendapan oleh gletser disebut sedimen glacial. Bentang alam hasil pengendapan oleh gletser adalah bentuk lembah yang semula berbentuk V menjadi U. Pada saat musim semi tiba, terjadi pengikisan oleh gletser yang meluncur menuruni lembah. Batuan atau tanah hasil pengikisan juga menuruni lereng dan mengendap di lembah. Akibatnya, lembah yang semula berbentuk V menjadi berbentuk U.

1. Deposisi
Pengendapan – Terjadi saat pengangkutan partikel yang membutuhkan energi dan terjadi pada waktu yang relatif singkat. Endapan tersusun atas butiran – butiran mineral. Dapat juga menghasilkan endapan kimia pada kondisi yang berbeda.
2.Litifikasi
Terjadi dalam beberapa tahap, All taken together are termed Diagenesis.
a. Kompaksi - Squeezing out of water.
b. Sementasi - Precipitation of chemical cement from trapped water and circulating water.
c. Rekristalisasi-Growth of grains in response to new equilibrium conditions

IV. Hubungan Lingkungan Sedimentasi dan Fasies Sedimentasi
Walaupun para ahli geologi setuju pada hasil pengertian dari lingkungan pengendapan, mereka ternyata menemukan kesulitan dalam penyusunan pengertian yang tepat dari lingkungan pengendapan ini. Sebagai ilustrasinya, lingkungan sedimen telah digambarkan dalam beberapa variasi yaitu :
1. Tempat pengendapan dan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang menunjukkan sifat khas dari setting pengendapan [Gould, 1972].
2. Kompleks dari kondisi fisika, kimia, dan biologi yang tertimbun [Krumbein dan Sloss, 1963].
3. Bagian dari permukaan bumi dimana menerangkan kondisi fisika, kimia, dan biologi dari daerah yang berdekatan [Selley, 1978].
4. Unit spasial pada kondisi fisika, kimia, dan biologi scara eksternal dan mempengaruhi pertumbuhan sedimen secara konstan untuk membentuk pengendapan yang khas [Shepard dan Moore, 1955].
Definisi tersebut memang berbeda, tetapi pada umumnya memberikan tekanan pada kondisi fisika, kimia, dan biologi. Pada konteks ini, lingkungan pengendapan mengarah pada unit geomorfik dimana terjadi pengendapan. Lingkungan ini dibentuk dari parameter khusus fisika, kimia, dan biologi yang sesuai terhadap unit geomorfik dari geometri dan ukuran partikular. Proses ini akan mengoperasikan tingkat dan ntensitas yang menghasilkan tekstur khas, struktur, dan sifat lainnya, sehingga pengendapan yang khusus akhirnya terbentuk. Sebagai contohnya, pantai akan mempertimbangkan unit geomorfik dari ukuran dan bentuk tertentu, proses fisika tertentu [gelombang dan aktivitas arus], proses kimia [solusi dan presipitasi], dan proses biologi [penggalian, sedimen ingestion, dan aktivitas serupa] yang terjadi untuk menghasilkan badan pasir pantai yang khas oleh partikular geometri, tekstur dan struktur sedimen, dan mineralogi.
Fasies menunjukkan unit stratigrafi yang mengacu pada aspek litologi, struktural, dan karakter organisme yang dapat dikenali di lapangan.
Tiap lingkungan sedimen memiliki karakteristik akibat parameter fisika, kimia, dan biologi dalam fungsinya untuk menghasilkan suatu badan karakteristik sedimen oleh tekstur khusus, struktur, dan sifat komposisi. Hal tersebut biasa disebut sebagai fasies. Istilah fasies sendiri akan mengarah kepada perbedaan unit stratigrafi akibat pengaruh litologi, struktur, dan karakteristik organik yang terdeteksi di lapangan. Fasies sedimen merupakan suatu unit batuan yang memperlihatkan suatu pengendapan pada lingkungan
Interpretasi lingkungan umumnya menghambat karena adanya suatu kenyataan mengenai kecenderungan fasies yang sama yang dihasilkan pada setting lingkungan yang berbeda. Hal tersebut sering terjadi sehingga akan membuat suatu penyajian lingkungan yang khas pada suatu dasar fasies pengendapan tunggal. Sebagai contohnya, perlapisan silang siur dari batupasir dapat dibentuk karena transportasi angin dan air. Jika terendap pada air, mereka akan terbentuk pada suatu pantai, sungai, pada saluran pasang surut, pada dangkalan samudera, atau pada lingkungan yang lain dimana proses traksi dapat berlangsung. Interpretasi lingkungan akan dapat kita kuasai jika kita mampu mempelajari hubungan fasies dengan urutan yang benar dibandingkan dengan fasies tunggal. Hubungan suatu fasies dapat digagaskan dalam pembagian grup fasies yang terjadi secara bersama – sama yang selanjutnya akan berkaitan dengan lingkungan. Sebagai contohnya, jika pada perlapisan silang siur batupasir asosiasi terdekatnya adalah dengan terkandungnya tanah, batubara, atau serpih lanauan yang mengandung akar, daun, dan batang, kita bisa membuat interpretasi pengendapannya pada sistem sungai. Dalam mempelajari hubungan fasies dan urutannya, kita harus benar – benar memperhatikan keadaan alami dari kontak hubungan antara fasies dan derajat urutan baik acak maupun tidak. Dengan adanya aplikasi dari prinsip stratigrafi, kita dapat menduga hubungan dari dua fasies karena kontak derajat atau penggambaran batas dari pendekatan lateral. Sementara itu, hubungan fasies karena kenaikan atau akibat erosi perbatasan yang mungkin dapat menggambarkan lingkungannya ataupun tidak, pada pendekatan lateral. Pada kenyataannya, fasies karena kontak erosi umumnya menandakan perubahan dari kondisi pengendapan dan menjadi permulaan siklus sedimentasi yang baru. Fasies di dalam hubungan partikular akan tersebar vertikal pada suatu cara pengacakan yang nyata atau mungkin menunjukkan pola tertentu dari perubahan vertikal. Dua tipe umum dari perubahan fasies vertikal yaitu Coarsening Upward Sequence dan Fining Upward Sequence.
• Coarsening-upward sequences menunjukkan adanya penambahan kenaikan ukuran butir dari dasar erosi atau kenaikannya. Hal ini menunjukkan peningkatan energi arus pengendapan.
• fining-upward sequences sendiri merupakan kebalikannya, yaitu ukuran butir akan semakin halus dari puncak erosinya. Menunjukkan penurunan energi arus pengendapan

V. Dasar-dasar Analisis Lingkungan
Pengenalan lingkungan sedimen didasarkan pada dua kriteria pokok:
1. Kriteria berdasarkan komponen pengendapan primer
a. Kriteria fisik
- Geometri unit fasies, menunjukkan bentuk 3 dimensi dari tubuh sedimen, antara lain:
• bentuk equidimensional, seperti lembaran atau selimut, prisma
• bentuk elongate, seperti pods, rebbon atau shoestring, dendroids (Potter, 1962).
- litologi, unit sedimen gross litologi merupakan indicator lingkungan pengendapan yang sangat umum. Contohnya, tend batugamping menjadi deposit karena suhu hangat. shelves laut dangkal.
- asosiasi fasies menyamping dan vertikal, hubungannya dengan pengamatan outcrop atau penentuan data bagian permukaan, sangat penting untuk membedakan lingkungan
- struktur sedimen, penting untuk indikator lingkungan karena dibentuk oleh proses pengendapan, terutama yang terbentuk di lingkungan pengendapan.
b. Kriteria geokimia
Komposisi unsur utama batuan sedimen silisiklastik berfungsi sebagai komposisi kimia partikel silisiklastik yang membentuk batuan.
c. Kriteria biologi
Digunakan untuk rekonstruksi paleoenvironmental, fosil adalah salah satu yang sangat berguna.
2. Kriteria berdasarkan kenampakan sedimen
a. Kenampakan ukuran dari log sumur mekanik, meliputi resistivity, sonic velocity, dan radioaktivity.
b. Kenampakan interpretasi dari pengukuran sumur log meliputi density/porosity, ukuran butir, litologi, dip perlapisan.
3. Karakteristik dari interpretasi darai reakaman refleksi seismic, antara lain hubungan kontak utama (uniformity, comformity), strata kontinuitas, dip strata, identifikasi unit fasies seismik.

VI. Klasifikasi Lingkungan Pengendapan
Klasifikasi lingkungan pengendapan dapat dibedakan menjadi:
a. kontinetal, antara lain gurun atau eolian, fluvial termasuk braided river dan point bar river, dan limnic
b. peralihan, termasuk delta. lobate, esturine, litoral (pantai, laguna, dan barrier islands, offshore bar, tidal flat.
c. marine, meliputi neritis atau laut dangkal, deep neiritis, batial, abisal.

VII. Fasies Model
Model fasies adalah miniatur umum dari sedimen yang spesifik. Model fasies dapat diiterpretasikan sebagai urutan ideal dari fasies dengan diagram blok atau grafik dan kesamaan. Ringkasan model ini menunjukkan sebagaio ukuran yang bertujuan untuk membandingkan framework dan sebagai penunjuk observasi masa depan. model fasies memberikan prediksi dari situasi geologi yang baru dan bentuk dasar dari interpretasi lingkungan. pada kondisi akhir hidrodinamik. Model fasies merupakan suatu cara untuk menyederhanakan, menyajikan, mengelompokkan, dan menginterpretasikan data yang diperoleh secara acak.
Ada bermacam-macam tipe fasies model, diantaranya adalah :
a) Model Geometrik berupa peta topografi, cross section, diagram blok tiga dimensi, dan bentuk lain ilustrasi grafik dasar pengendapan framework
b) Model Geometrik empat dimensi adalah perubahan portray dalam erosi dan deposisi oleh waktu .
c) Model statistik digunakan oleh pekerja teknik, seperti regresi linear multiple, analisis trend permukaaan dan analisis faktor. Statistika model berfungsi untuk mengetahui beberapa parameter lingkungan pengendapan atau memprediksi respon dari suatu elemen dengan elemen lain dalam sebuah proses-respon model.

Sunday, March 15, 2009

STUDI DAMPAK GERAKAN TANAH DAERAH GOMBEL LAMA DAN TINJOMOYO

ABSTRAK
Armandho, dkk. 2008. Studi Dampak Gerakan Tanah Daerah Gombel Lama dan Tinjomoyo. Makalah. Program Studi teknik Geologi. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro.
Di Semarang sering terjadi longsoran pada jaringan jalan, jaringan pengairan dan jaringan permukiman. Longsoran tersebut sering mengakibatkan kematian maupun kerusakan tempat tinggal, untuk itu diperlukan penanganan khusus dalam menghadapi bencana tanah longsor ini.
Daerah di Semarang yang sering mengalami longsoran adalah daerah Gombel lama dan Tinjomoyo. Longsoran didaerah tersebut dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain kondisi geologi, morfologi, litologi, iklim dan aktivitas manusia. Tercatat tahun 2002 dan 2006 terjadi longsoran besar didaerah tersebut dan menimbulkan dampak kerugian yang cukup besar.
Kondisi geologi pada daerah tersebut terletak didaerah yang memiliki kelerengan yang curam sehingga bidang gelinciran dari tanah tersebut semakin besar. Litologi daerah tersebut terdiri dari batulempung, batulanau dan breksi vulkanik, dimana posisi breksi vulkanik terletak diatas batulempung sehingga membebani lempung dan akibatnya lempung akan lebih mudah untuk tergelincir. Aktivitas manusia yang membebani daerah rawan longsor tersebut dengan membangun rumah bahkan hotel membuat daerah tersebut semakin berbahaya.
Untuk meminimalisir terjadinya longsoran pada daerah tersebut dapat dilakukan dengan metode-metode geologi teknik, khususnya dalam merekayasa kondisi lahan tersebut, misalnya dengan mengendalikan air permukaan, ataupun dengan memperkuat daya ikat tanah.
Kata kunci : gerakan tanah, dampak, mitigasi, penyebab

Gerakan Tanah di Daerah gombel lama dan Tinjomoyo
Berdasarkan hasil pengamatan kami menemukan beberapa bukti bahwa pada daerah pengamatan sering terjadi gerakan tanah, berikut adalah bukti-buktinya :
STA 1 berlokasi di Bendan Dhuwur, dekat UNIKA. Lokasi ini dibagi menjadi dua lokasi pengamatan yaitu lokasi pengamatan 1 (LP 1), dan lokasi pengamatan 2 (LP 2). Proses denudasi yang terjadi disini adalah degradasi yang didorong oleh transport, yaitu proses perpindahan bahan rombakan terlarut dan tidak terlarut karena erosi dan gerakan tanah. Pada daerah pengamatan proses yang dominant adalah adanya gerakan tanah. Gerakan tanah ini terjadi karena adanya perpindahan massa tanah atau batuan pada arah tegak, datar atau miring dari kedudukan semula. Hal ini terjadi karena ada gangguan kesetimbangan pada saat itu. Berikut adalah hasil analisa dari data pengamatan saat di lokasi :

a. LP 1
Daerah ini sering mengalami amblesan, walaupun sering diperbaiki (diaspal kembali) namun akan kembali lagi rusak. Amblesan ini terjadi karena adanya gerakan ke arah bawah yang relatif tegak lurus, yang menyangkut material permukaan tanah atau batuan tanpa gerakan ke arah mendatar dan tidak ada sisi yang bebas. Dapat disebabkan karena terlampau berat beban dan daya dukung tanah kecil. Juga bisa karena pemompaan air tanah jauh melampaui batas, sehingga pori-pori yang tadinya terisi oleh air tanah akan mampat.
Garis kuning putus-putus tersebut sengja ditandai oleh petugas karena daerah tersebut sering ambles. Kemudian di sisi kanan jalan terdapat creep berupa tiang miring. Creep ini merupakan aliran massa (tanah) batuan yang ekstrim lambat, tidak dapat dilhat, hanya akibatnya akan tampak seperti tiang listrik, pohon bengkok. Pada LP 1 hanya ditemukan adanya tiang miring.

b. LP 2
Daerah ini dekat dengan LP 1 pada STA1. Kenampakan yang dapat kita lihat adalah adanya jalan yang patah. Jalan di LP 2 ini sering mengalami patah atau putus yang amat parah, sehingga bisa menyebabkan kecelakaan apabila dilewati oleh sepeda motor.
Patahan ini terjadi karena nendatan (slump) yaitu adanya pergerakan massa tanah atau massa batuan yang gerakannya terputus-putus atau tersendat-sendat dari massa tanah atau batuan ke arah bawah dalam jarak yang relatif pendek, melalui bidang lengkung dengan kecepatan ekstrim lambat.
Litologi pada STA 1 ini adalah breksi, lempung, dan lanau. Tata guna lahannya untuk warung, toko-toko, sarana transpotasi darat, perkebunan (biasanya pisang), dan pemukiman.
Dari hasil penelitian tersebut dilakukan analisis data yang telah didapat dilapangan, yaitu daerah pengamatan merupakan daerah yang memiliki pergerakan tanah yang cukup dominan, ini ditandai dengan ditemukannya bukti-bukti pergerakan tanah. Creep dapat dibuktikan dari adanya tiang listrik yang miring, hal ini semakin diperkuat oleh kondisi jalan raya disekitar tiang listrik tersebut bergelombang, hal ini menunjukkan adanya rayapan tanah pada daerah tersebut.
Lokasi rawan longsor cukup banyak dijumpai pada daerah tersebut, hal ini dapat dilihat dari hasil tumpukan material lepas sedimen yang terakumulasi dibawah lereng, hal ini menunjukkan bahwa material lepas tersebut merupakan produk dari longsoran itu sendiri.
Dari pengamatan kondisi geologi pada daerah tersebut didapatkan hasil yaitu terdapatnya gejala adanya sesar, hal ini semakin diperkuat oleh data sekunder yang kami peroleh. Sesar tersebut diasumsikan berarah barat-timur dan menerus kearah tenggara. Dengan adanya struktur sesar pada daerah tersebut, bisa dipastikan bahwa daerah itu memang sangat rawan longor. Zona sesar merupakan zona yang lemah, dimana batuan pada bidang sesar tersebut memiliki daya ikat yang lemah, sehingga ikatan antar partikel batuan akan sangat mudah untuk terlepas dan ketika ikatan itu terlepas maka sejumlah material sedimen yang terlepas tadi akan tergelincir kebawah dan mengakibatkan terjadinya longsoran.
Dari pengamatan geomorfologi daerah penelitian didapati hasil yaitu terjadinya proses denudasi yang cukup dominan, hal ini dilihat dari adanya pelapukan batuan, longsoran, dan rayapan. Tata guna lahan di daerah penelitian banyak digunakan sebagai permukiman penduduk, lapangan golf, bahkan terdapat pula hotel yang didirikan diatas bukit yang rawan longsor. Vegetasi pada daerah tersebut sudah banyak dipangkas untuk kebutuhan permukiman penduduk, sehingga akar tanaman yang berfungsi untuk mengikat partikel tanah dan mengontrol kandungan air dalam tanah tidak bisa menjaga tanah agar tetap kuat. Tanah memiliki daya dukung dimana tanah akan tetap bisa bertahan dan tidak mengalami longsoran, tetapi ketika tanah tersebut berada pada kelerengan yang cukup curam, kondisi litologi batuan yang tidak terlalu kuat maka daya dukung tanah tersebut akan berkurang. Inilah yang terjadi pada daerah gombel lama dan tinjomoyo, dimana daya dukung tanah yang tidak terlalu stabil dibebani oleh bangunan-bangunan penduduk, sehingga tanah tidak kuat menahan beban dan runtuhlah tanah tersebut sebagai longsoran.
Dari pengamatan litologi didapati hasil yaitu batuan penyusun daerah tersebut didominasi oleh batulempung dan breksi vulkanik. Kontak antara batuan yang berbeda dansitas tersebut mengakibatkan terjadinya longsoran jenis gelinciran (slide) ataupun jenis robohan.(falls). Penyebaran longosran pada daerah gombel lama sejajar arah kontak antara dua batuan tersebut, yaitu umumnya berarah baratdaya. Berdassarkan analisis mineral lempung tersebut, didapati hasiil yaitu batulempung mengandung mineral kaolin, kuarsa dan montmorilonit, dimana mineral-mineral tersebut merupakan minral yang mudah mengembang (swelling). Mekanisme terjadinya longsoran dapat diasumsikan sebagai berikut, yaitu terjadinya penjenuhan air tanah pada breksi vulkanik, hal ini disebabkan oleh sifat batulempung yang immpermeable tidak dapat dilalui oleh air tanah, sehingga air tanah terakumulasi pada breksi vulkanik. Breksi vulkanik yang telah jenuh dengan air akan bertambah beratnya sehingga pembebanan terhadap batulempungpun bertambah. Kemiringan lereng yang curam mempercepat terjadinya runtuhan breksi vulkanik ataupun longsoran batulempung.
Dari pengamatan dilapangan dapat ditarik kesimpulan bahwa iklim pasti akan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam hal terjadinya longsoran, dimana pada musim penghujan dipastikan kandungan air tanah akan bertambah dan hal tersebut dapat mempercepat terjadinya longsoran. Aktivitas manusia seperti mendirikan bangunan diatas daerah rawan longsor juga merupakan percepatan dari terjadinya longsoran tersebut.

Mitigasi Bencana Tanah Longsor
Dari sekian banyak penyebab terjadinya longsoran di daerah Gombel lama dan Tinjomoyo, maka dapat dilakukan analisa dalam hal mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Mitigasi bencana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Relokasi Penduduk
Salah satu penyebab terjadinya longsoran adalahadanya pembebanan tanah yang berlebihan yang diakibatkan oleh banyaknya rumah penduduk yang dibangun diatas daerah rawan longsor, sehingga untuk mengatasi hal tersebut pemerintah harus bertindak serius untuk merelokasi penduduk yang ada pada daerah tersebut. Merelokasi penduduk bukan perkara mudah, dari hasil wawancara dengan penduduk setempat, mereka mengaku bahwa mereka tidak ingin pindah karena tidak ada biaya. Agar kedua belah pihak tidak merasa saling dirugikan maka sudah selayaknyalah pemerintah memberikan ganti rugi yang layak untuk penduduk setempat.

Memperkuat Struktur Tanah
Untuk melakukan hal tersebut ilmu geologi rekayasa sangat dibutuhkan dalam kaitannya dengan merekayasa semaksimal mungkin untuk bisa menjadikan struktur tanah yang lepas tadi menjadi erat kembali. Penguatan struktur tanah dapat dilakukan dengan membangun konstruksi penahan longsor yang terdiri dari timbunan tanah berbutir yang diberi tulangan berupa pelatpelat baja strip dan panel untuk menahan material berbutir. Konstruksi ini umumnya ditempatkan pada bagian ujung kaki lereng dan dipasang pada dasar yang kuat di bawah bidang gelincir.

Mengendalikan Air Permukaan
Air permukaan mempercepat terjadinya erosi permukaan sehingga batuan mudah longsor. Ilmu geologi rekayasa juga dibutuhkan disini, dimana denga kemampuan geologi kita dapat melakukan penyemenan pada pori-pori tanah yang porous sehingga tanah tidak tidak mudah dimasuki air. Penanaman tumbuhan juga bisa dilakukan untuk menyerap air permukaan yang berlebihan. Lekukan yang terdapat di sepanjang lereng juga harus dipotong atau diisi dengan semen agar tidak terjadi genagan air disana.

Thursday, March 12, 2009

Batubara

Batu bara adalah sisa tumbuhan dari jaman prasejarah yang berubah bentuk yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut.

Penimbunan lanau dan sedimen lainnya, bersama dengan pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik) mengubur rawa dan gambut yang seringkali sampai ke kedalaman yang sangat dalam. Dengan penimbunan tersebut, material tumbuhan tersebut terkena suhu dan tekanan yang tinggi. Suhu dan tekanan yang tinggi tersebut menyebabkan tumbuhan tersebut mengalami proses perubahan fisika dan kimiawi dan mengubah tumbuhan tersebut menjadi gambut dan kemudian batu bara.

Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama – yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batu bara muda) atau ‘brown coal (batu bara coklat)’ – Ini adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat - coklatan.

Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batu bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batu bara muda menjadi batu bara ‘sub-bitumen’.

Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebh hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’. Dalam kondisi yang tepat, penigkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

Produksi Batubara di Indonesia
Produksi batubara Indonesia selama 10 (sepuluh) tahun terakhir menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan dan pada tahun 2003 telah mencapai 112 juta ton. Diproyeksikan pada tahun 2004 produksi batubara akan meningkat menjadi sebesar 135 juta ton.
Sebagian besar dari produksi tersebut (67,5%) digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke berbagai negara terutama di kawasan Asia Pasifik, seperti Jepang Taiwan, Korea dan negara-negara ASEAN. Sisanya sebesar 31 juta ton (32,5%) digunakan untuk keperluan di dalam negeri antara lain untuk pembangkit listrik, pabrik semen, industri pulp (bubur kertas), dan lainnya. Kontribusi batubara di dalam energy mix saat ini masih sangat terbatas, yaitu baru sekitar 13% dari total pemakaian energi dalam negeri, dimana pemakaian terbesar masih didominasi oleh industri ketenagalistrikan (khususnya PLTU) yang mencapai 20 juta ton, diikuti oleh industri semen sebesar 4,2 juta ton dan industri lainnya sebesar 1,1 juta ton.
Pertumbuhan konsumsi batubara Indonesia rata-rata meningkat sebesar 9% per tahun dan diharapkan akan semakin meningkat dengan naiknya kontribusi batubara di dalam energy mix untuk mengurangi ketergantungan akan bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini cadangannya semakin menipis serta untuk optimalisasi pendapatan relatif dari migas bagi kelangsungan pembangunan. Namun, pengembangan pemanfaatan batubara dalam negeri masih terkendala dengan keterbatasan infrastruktur pendukung terutama dalam hal transportasi dan distribusi. Disamping itu, harga jual batubara dalam negeri yang lebih rendah dibandingkan harga di pasar internasional menyebabkan produsen batubara lebih menyukai pasar luar negeri dibandingkan pasar dalam negeri (Tirasonjaya, 2004).
Perkembangan produksi batubara selama 13 tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, dengan kenaikan produksi rata-rata 15,68% pertahun. Tampak pada tahun 1992, produksi batubara sudah mencapai 22,951 juta ton dan selanjutnya pada tahun 2005 produksi batubara nasional telah mencapai 151,594 juta ton.

Pemanfaatan Batubara

Batubara pada masa mendatang mempunyai prospek yang cerah sebagai bahan bakar alternatif. Hal ini ditandai dengan makin terbatasnya bahan bakar minyak maupun gas di samping makin berkembangnya sektor industri dalam skala besar, menengah dan kecil.
Pada masa mendatang, produksi batubara Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (domestik), tetapi juga untuk memenuhi permintaan luar negeri (ekspor). Hal ini mengingat sumber daya batubara Indonesia yang masih melimpah, di lain pihak harga bahan bakar minyak (BBM) yang tetap tinggi, menuntut industri yang selama ini berbahan bakar minyak untuk beralih menggunakan batubara.
Secara umum batubara di Indonesia telah dimanfaatkan dalam beberapa sektor vital dalam roda perekonomian negara, khususnya dalam bidang industri. Batubara digunakan sebagai sumber energi dalam hal ini berfungsi sebagai bahan bakar diantaranya dalam PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), industri semen, industri kertas, industri tekstil, industri metalurgi, dan industri lainnya (Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2006).

GEOLOGY OF KARANGSAMBUNG

GEOLOGY REGIONAL

I.1 Geomorphology of Karang Sambung
Region Karangsambung, located on ±19 Km to north from Kebumen Town, with coordinate between 07o30’00” – 07o45’00” LS dan 109o15’00” – 109o30’00”BT. Where, in region Karangsambung can be met various igneous rock types, Sediment and Metamorphic as result of subduction process between Hindia-Australia Oceanic Plate with Eurasia Continent Plate.
Based on physiographic sketchmap of Java by Bemmelen (1970), The area of Karangsambung is part of The South Serayu Mountain in Java.
Karangsambung area of width around 30 x 10 km2 is part of mountain of Serayu Selatan which has experienced innermost erosion, causing that, so laids bare pra-tersier rock. The morphology in this area is structural hilly and this area also is called as mélange complex. Besides that, fluvial morphology also there is in Karangsambung area.
The hills in karangsambung area are Waturanda hill, Sipako hill, Paras mountain, Brujul mountain, Jatibungkus hill, and other. This Location is Called as mélange complex because rocks over there is in disorder. Presentation of mélange in the field is in the form of blocks. And the scale of melange something tens until hundreds of meter, but there are also mélange is forming a mountain circuit.
One of morphology which seems to be in Karangsambung that is Luk Ulo river. This Luk Ulo river is including antecedent river, that is river type cutting principal geology sewer structures of the district, and is including mature stadium. Level of maturity of this river seen from meander and river terrace deposit formed on course far from prime river. Besides the prime river, Karangsambung has other river, that river is Kali Muncar , Kali Cacaban, Kali Mandala, Kali Brengkok and other.

I.2 Stratigraphy of Karangsambung
1. Karangsambung Formation
Litology Characteristic : is consisted of grey clay, containing iron concression, numulithes limestone lenses, polemic conglomerate and laminated quartz sandstone. Grey until black clay shows scaly structures with incision to all directions and almost flatten on the surface. Those structures estimated as the result of slumping depositional mechanism that happen under water level with big volume (subaquatic gravity gliding). The estimation is supported by slumping symptoms that is seen at broken and disorder inset of sandstone.
Numulithes limestone, conglomerate and sandstone that we found in there representing olistolith that besieged in clay.
A fine outcrop is found at the river near Karangsambung Village and Banjarsari. Numulithes limestone, polemic conglomerate and iron concressions is found around field college. Pasanggrahan hills next to college, is big polemic conglomerate olistolith.

Age : middle Eocene until late Eocene that based on plankton foraminifera presence. Globorotalia cerroazulensis and Truncolotarloides topilenses besides Nummulites Javana inside of limestone. Besides that, there is also found Alvegina and Discocyclina sp. As late Eocene age boundaries, based on Hantkenina alabamensis presence inside napal from Karangsambung Formation.
In some place that Karangsambung Formation has related with Melange LUH-ULO complex, both of groundmass are contained of clay and black – gray shale, sometimes difficult to get the differentiation. Especially when the outcrop was moldy. One of criteria that can used to differentiating is studying more accurate “boulder” inside there. In Melange, usually showed systematic cracked pattern, in pairs, responses from force work. In Melange, generally have cleavage structures, while on Karangsambung Formation (olistostrom) untidy directions.
2. Totogan Formation
Lithology Charateristic :
This beds have much same with Karangsambung beds. It is laped over scaly, with brown colour, and sometimes purple squeezing. Frgamen which contain this rock in mudstone, sandstone, fossiliferous limestone, and igneous rock to. That fragman have sub-rounded shapes, with slippery surface (like haved erotion) and size it fragmen between 2 until 20 cm, and more than bigger. To that beds have name muddy breccias. With characteristic like that, this beds also can called Olisostrome.
Age :
Age of this beds is Lower-Oligosen or N.2-N.3 zone, that based from founded the Globoquadrina praedehiscens, Globigeriona binaensis and not yet appearance Globigerinoides.
Stratigraphy Relation with Karangsambung beds :
Stratigraphy relation with Karangsambung beds in bottom of Totogan beds, can be perceived perfectly, but with the existence of spanning time, that is among P.17 until N.2 zone. Possibility have designating an unconformity. But with Waturanda beds this beds has conformity.
Depositional Environment :
Depositional environment from Totogan beds, with have much foraminifera plankton, showed marine condition, deep (100-200 m), with precipitous shoreline and steep sea floor so enabling that rock-fall has happened in that place, and continued with olisostrome formed. The condition like this can be descriptioned as geosinklin with fault structure at its edge. At another place even can be observed the bedding very well, and there are also ownig graded bedding structure, which showed having influence of turbidity current. Switchover from olisosthrome to turbidity is happened repeatedly.
The better outcrops is perceived at Luh-Ulo river bank near Totogan village, and beside Totogan to Pucangan village road. At the river bridge Totogan-Pucangan old road, there are showed good outcrop, which showed restating between muddy-breccias and show the bedding. And both of them showed by the same muddy characteristic, that is scaly structure.

3. Waturanda Formation
In Karangsambung area, primary formation is contained of graywacke sandstone at underside an breccias at topside, is cropped well and formed Paras Mountain and Perahu Mountain syncline rift landform at north of Field College. This formation type is located on Waturanda Mountain, north of Kaligending village. Litology in there is cropped well and is contained of sandstone laminated and breccias. The component of breccias mostly is contained of andesitic igneous rock and sandstone groundmass. Graded bedding or inverse graded bedding showed that this formation is turbidite.
Formation age just can determined directly, based on stratigraphy position to underside and topside unit and is estimated as earlier meocene.

4. Bulukuning Formation (New Formation)

5. Larangan Formation (New Formation)

I.3 Structure of Karangsambung
Sewer structures boudinage and boudin which is elliptical, king sized and can be mapped is finite the small ones and cannot be mapped, besieged in a period of Clay basis grind a real common is met.
Rocks consisted of by material of ocean cake, like basalt is having sewer structures pad ( pillow basalt) with interval chert with red clay and clastic limestone has not mixed with clastic sediments of troughing deposit, like grey black Clay and sandstone greywacke causing forms rock bancuh or chaotic rock. Can slip between also metamorf rock group fasies green schist, like schist phylite, chlorite and amphibolite.
Set of rock with characteristic typical of this, what consisted of freeze rocks mixture, sediment, malihan mangled, with equiamplitude surface of crack gerus(shear surface) what levels off, in tectonic term is recognized [by] as mélange ( French with the meaning mixture).
We recognize existence of two types mélange based on by its(the genesis, be tectonic mélange and mélange sedimentary. First usually is conceived of tectonic mélange while secondly is known as sedimentary mélange, or usually is called as olisthostrome. Both types of this detectable mélange in district Luh-Ulo.
Formation of this tectonic mélange hooked; correlated as interaction product of ingot which convergent followed by infiltration phenomenon of ingot ( subduksi or subduction). Lane subduksi ( subduction zone) mostly consisted of from spur mélange ( mélange wedge).
Olisthostrome is rock bancuh happened as result of sedimentation process predominated by gravity. Olisthostrome is shifting down phenomenon in underwater ( sub aquatic gliding) what entangles a number of sediment earths which has collected before all at peripheral portion of basin. Shifting down kinetic can happened because level of angle of repose influence or because of tectonic kinetic.
Tectonic Melange in this Luh-Ulo district consisted of 2 division, that are :
1. Boulders or boudin which is planted ( floats or besieged) in
2. Why should fundamental
The elliptical boulders so reaching some hundred finite thousands of meters. Has as of spread correction with direction of longest axis which hamper equal to distinguished by crack cupola ( systematic kekar)yang as working compression force response. Equiamplitude surface of crack show area gores-garis ( slicken-slided) as characteristic from grind joint (shear fracture).
Formation of boulder in analogous mélange with sewer structures boudinage. Structural like that can happened after table existence of flow stretch (flow stretching) to tectonic impulse befalling mellower rocks.
On all of them although every set of rock forming this detachable mélange but its(the stratigraphy sequence cannot be arranged normally. Stratigraphy principles has cannot be applied here. Hamper every lithology ridge would be shear. Thereby for this mélange applied stratigraphy status komplek by the name of complex mélange Luh-Ulo.

Boulders
Consisted of boulders that is in character strangers(foreigners in a period of basis, and in character has the same deposition area with a period of basis.

Foreign boulders ( exotic blocks)
a. Rock ofiolit, what consisted of basalt, gabro and some base ultra rocks. Basalt with forms typical of integer gives impression is having sewer structures pad. Generally laid bare hardly nearby group of sedimentary rock consisted of by red clay with inset baturijang ( chert). The relation of both types of this very tightly rock because precipitated at the time of the same with formation of basalt lava. Both showing properties existence of strong disintegration influence. Group of this sedimentary rock precipitated at deep sea to ocean floor ( sediment pelagosbiogen). Gabro and rock malihan is more dominantly laid bare in north. Serpentine generally Nampak is solidy breciassed causing its(the outcrop seen as boulders with form of angle and slips in a period of the same rock basis also is grind powerfully. Serpentine is changes rock from peridotite.

b. Metamorf Rock consisted of by phyllite, mica . schist and amphibole schist and rock malihan is containing glaucophane mineral.

Sedimentary rock boulders ( native blocks)

This rock comes from deposition basin which nearby troughing. Generally is consisted of sandstone greywacke. Greywacke can be considered to be result of deposit in a basin which its(the state is decline swiftly. This greywacke boulders swiftly. This greywacke boulders initially is layers which in the form of inset in Clay that is then is separated or cut to pieces at the time of taking place it hammering between ocean cakes with continent cake. Tightly association with deposit clastic estimable black Clay of its(the sedimentary process as turbid current deposit. This clastic sediment boulders called as also as native blocks, to differentiate it from exotic blocks.

Why Should Fundamental
Consisted of clay sliced strong ( pervasively sheared) shows areas splits directional ( cleavage). In field is this basic sewer structures gives the gleaming form if broken. Why should this basis is smooth clastic deposit in peripatetic troughing always makes balance to infiltration process of ingot.
In petrography seems to be a period of this basis has experienced phenomenon changes which is weak that is with silicate minerals appearance and chlorite.
Life " complex mélange Luh-Ulo" which show the time at the time of the happening of phenomenon subduction between ingots Hindia-Australia with Sunda ingot is determined based on consisting in fossil in a period of black shale basis. This life member life would " minimum" subduction, while involving boulders life in it will give life " maximum" foraminifera plankton which showing Upper Kapur until Paleocene. While from boulder which consisted of crystallized limestone and chert to give life middle kapur
Thereby complex life mélange interpreted as Upper Kapur until Paleocene.
Beside based on fossil, determination of life " complex mélange Luh-Ulo" this also is done based on rock component malihan which there is in mélange. With method potassium-argon taken away from by rugged mica . mineral and mica . schist got life 117 million years ( Kapu Awal). And 85 million years is gotten by the way of rubidium-strontium from phyllite rock. By using scar method splits ( fission track) to zircon mineral from quartz porphyry rock is gotten [by] approximately 65 million years ( Final Lime until Paleocene).

Slump
Slump is a form of mass wasting event that occurs when loosely consolidated materials or rock layers move a short distance down a slope. The landmass and the surface it slumps upon is called a failure surface. When the movement occurs in soil, there is often a distinctive rotational movement to the mass, that cuts vertically through bedding planes (landslides take place along a bedding plane or fault). This rotational movement moves along a curved slip surface of regolith (the failure surface) which overlies bedrock. This results in internal deformation of the moving mass consisting chiefly of overturned folds called "sheath folds." The surface of the mass often remains relatively undisturbed, especially at the top. However, hummocky ridges may form near the toe of the slump . The cut which forms as the landmass breaks away from the slope is called the "scarp" and is often cliff-like and concave. Cracks at the head scarp drain water, killing trees. Power lines, fences, roads, houses, and other manmade structures are frequently damaged if in the path of a slump. Slumps frequently form due to removal of a slope base, either from natural or manmade processes. Stream or wave erosion, as well as road contstruction are common instigators for slumping. It is the removal of the slope's physical support which provokes this mass wasting event. Earthquakes also trigger massive slumps, such as the fatal slumps of Turnagain Heights Subdivision in Anchorage, Alaska. This particular slump was initiated by a magnitude 8.4 earthquake that resulted in liquifaction of the soil. Around 75 houses were destroyed by the Turnagain Slump.
The speed of slump varies widely, ranging from meters per second, to meters per year. Sudden slumps usually occur after earthquakes or heavy continuing rains. The rain provides lubrication for the material to slide, and increases the self-mass of the material. Both factors increase the rate of slumping. Slumps may also occur underwater along the margins of continents and islands. These submarine slumps can generate disastrous tsunamis. The underwater terrain which encompasses the Hawaiian Islands gains its unusual hummocky topography from the many slumps that have taken place for millions of years.

Karangsambung
Earth crust is formed by three kinds of rocks, there are : igneous rocks, sedimentary rocks and metamorphic rocks. Three kinds of that rock could be found in Karangsambung. Those rocks can be slaty form from ancient seafloor being base Java Island.