Friday, March 20, 2009

EKOSISTEM TEMPAT PEMUSNAHAN AKHIR ( TPA ) BANTAR GEBANG, BEKASI

Pengertian Ekosistem
Ekosfer atau biosfer merupakan bulatan planet bumi di mana terdapat kehidupan. Makna yang sebenarnya dari ekosfer adalah bulatan bumi dimana kehidupan dapat berlangsung.
Tingkatan organisme kehidupan dalam ekologi yang terkecil adalah individu dari makhluk hidup. Kumpulan individu yang terdiri atas jenis atau spesies yang sama disebut populasi. Guid adalah kelompok populasi yang mengeksploitasi sumber daya sejenis dengan cara yang sama. Misalnya sekelompok prosator yang sama-sama memangsa kijang di hutan. Tetapi predator dan parasit yang mempunyai tuan rumah yang sama bukan guild karena cara konsumsinya berbeda. Sekelompok individu tumbuhan dan hewan yang berinteraksi dengan menghuni suatu habitat disebut komunitas yang dalam literatur Rusia serta Eropa Timur disebut biocoenisis.
Suatu komunitas dalam interaksinya dengan sesama maupun dengan lingkungan fisik di sekitarnya membentuk sistem ekologi atau ekosistem. Ekosistem dianggap sabagai satuan pokok dalam ekologi. Pada dasarnya, ekosistem dapat meliputi seluruh ekosfer atau hanya bagian-bagiannya, bahkan dapat juga sebagian kecil saja, seperti sebuah danau atau sebuah kolam. Ini tergantung kepada permasalahan yang dihadapi atau pendekatan yang diperlukan.

Latar Belakang, Dampak Yang Ditimbulkan, serta Solusi Terhadap Ekosistem Sekitar TPA Bantar Gebang
Peningkatan jumlah penduduk di DKI Jakarta memberikan dampak terhadap peningkatan volume sampah. Upaya mengurangi volume sampah yang pernah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan cara membakar di lahan terbuka seperti di Cilincing dan Kapuk telah menimbulkan polusi asap dan debu. Karena itu Pemerintah DKI Jakarta menganggap perlu memiliki lokasi tempat pembuangan yang memadai dan memenuhi persyaratan ambang batas lingkungan hidup. Dalam pembahasan dengan Bappeda dan Dinas Kebersihan DKI Jakarta dimunculkan tiga gagasan yaitu dikubur, dibakar, dan Sanitary Landfill. Sistem dikubur diawali dengan membuat galian dengan kedalaman tertentu lalu diberi penadah plastik kemudian diisi tanah setinggi 5 meter . Resiko dari perlakuan ini adalah hancurnya plastik oleh pelarut kimia. Sistem pembakaran dengan incenerator pada suhu 1100 0C. Lama pembakaran, suhu, dan pencampuran oksigen yang tepat dapat menghancurkan 99% sampah. Asap yang terbentuk diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke udara. Resiko dari sistem pembakaran yang tidak mencapai tingkat suhu tersebut adalah dioksin yang sangat beracun dan menimbulkan berbagai jenis kanker (Sirait, 2003). Sistem Sanitary Landfill adalah metode pembuangan akhir limbah dengan teknik tertentu sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan membahayakan kesehatan. Berdasarkan tiga pilihan tersebut, pengolahan sampah dengan metode Sanitary Landfill dianggap paling efektif.
Pemerintah DKI Jakarta akhirnya menetapkan salah satu daerah di wilayah kecamatan Bantar Gebang sebagai Tempat Pemusnahan Akhir sampah. Areal ini semula merupakan bekas lahan galian tanah untuk kepentingan pembangunan beberapa perumahan di Jakarta, seperti Sunter, Podomoro, dan Kelapa Gading serta perbaikan jalan di Narogong pada tahun 1986.
Mencuatnya masalah dampak TPA Bantar Gebang diawali dengan adanya perubahan status Kota Administratif menjadi Kota Bekasi pada tahun 1996. Akar permasalahannya kemungkinan disebabkan tidak jelasnya kewenangan instansi pengelola sampah Selama kurun waktu tersebut pemerintah DKI Jakarta kurang memperhatikan pengelolaan TPA Bantar Gebang. Keadaan ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997. Krisis ekonomi tersebut juga menyebabkan banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja, pengangguran, dan tingginya harga kebutuhan bahan pokok. Sampah dijadikan tumpuan sumber penghasilan bagi para pemulung yang memiliki rumah liar di sekitar penampungan. Dampak sosial yang timbul diantaranya adalah terjadinya pencurian ratusan pipa paralon pada Sanitary Landfill yang berfungsi untuk membuang gas metan sehingga menyebabkan saluran mengalami kebuntuan. Akibatnya timbul kebakaran di beberapa zona TPA sehingga menimbulkan asap. Di samping itu timbul pula bau yang menebar hingga mencapai kawasan Kemang Pratama, Kranji, Pekayon, dan wilayah-wilayah lain di Kota Bekasi yang jaraknya mencapai lebih dari 10 km dari Bantar Gebang.
Bantar Gebang merupakan salah satu dari sekian banyak tempat pembuangan akhir (TPA) di Jawa Barat. Daerah tersebut banyak dihuni oleh masyarakat dari kalangan bawah yang menjadikan tempat pembuangan tersebut sebagai sumber mata pencaharian utama. Mereka mengumpulkan sampah-sampah yang masih bisa dijual ataupun di daur ulang.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa TPA Bantar Gebang memberikan efek negatif terhadap kualitas air, tanah, dan kesehatan masyarakat. Jadi ekosistem yang ada pada daerah tersebut terganggu, contohnya :
1. keadaan tanah yang tercemar akibat sampah-sampah anorganik yang mengandung zat-zat kimia beracun
2. timbul berbagai macam penyakit yang berasal dari udara yang tercemar atau dari kualitas air yang buruk.
3. terhambatnya mobilitas masyarakat setempat akibat terganggu aroma sampah yang menyengat.

Kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang sudah sedemikian parah karena asal mula penanganan sampah sangat gegabah. Selama belasan tahun sampah langsung dibuang bertumpuk tanpa ditimbun tanah sebagai syarat sanitary landfill. Sejak dibukanya 16 tahun lalu, berat tumpukan sampah Bantar Gebang sudah diperkirakan mencapai 36 juta ton. Bau menyengat akibat gunung sampah itu mencapai radius 15 kilometer.
Proses pengurukan sampah dengan tanah yang seharusnya dilakukan secara berkala untuk meredam bau sampah juga tidak dilakukan dengan benar. Warga di tiga desa sekitar TPA berkali-kali mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI agar segera memperbaiki sistem pengolahan sampahnya di Bantar Gebang. Surat protes telah dilayangkan ke meja gubernur. Unjuk rasa besar-besaran yang berpotensi kekerasan juga berulang kali digelar.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi berupaya mengambil alih pengelolaan TPA Bantar Gebang dari tangan Pemprov DKI. Tetapi ujung-ujungnya, setelah dilakukan negosiasi sana-sini, dengan berbagai uang kompensasi, TPA Bantar Gebang akhirnya dioperasikan kembali. Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih dan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sepakat menggunakan kembali TPA Bantar Gebang untuk menampung sampah warga Jakarta terhitung 1 Januari 2004.
Bekasi juga menuntut Pemprov DKI segera membayar dana kompensasi Rp 8 miliar bagi warga di sekitar TPA Bantar Gebang. Belakangan DKI memberikan kompensasi sebesar Rp 14 miliar untuk TPA Bantar Gebang. Selain dana kompensasi, Pemkot Bekasi masih meminta lagi uang retribusi sampah sebesar Rp 85.000 per ton kepada DKI.

No comments:

Post a Comment